Benteng Kesultanan Buton merupakan salah satu objek wisata bersejarah di Bau-bau, Sulawesi Tenggara. Benteng ini merupakan bekas ibu kota Kesultanan Buton memiliki bentuk arsitek yang cukup unik, terbuat dari batu kapur/gunung. Benteng yang berbentuk lingkaran ini dengan panjang keliling 2.740 meter. Benteng Keraton Buton mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) dan Guiness Book Record yang dikeluarkan bulan September 2006 sebagai benteng terluas di dunia dengan luas sekitar 23,375 hektare.
Benteng ini memiliki 12 pintu gerbang yang disebut Lawa dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut Baluara. Karena letaknya pada puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik di zamannya. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian,suatu pemandangan yang cukup menakjukkan. Selain itu, di dalam kawasan benteng dapat dijumpai berbagai peninggalan sejarah Kesultanan Buton.
Benteng Kesultanan Buton dibangun pada abad ke-16 oleh Sultan Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Sultan Kaimuddin (1591-1596). Pada awalnya, benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu yang disusun mengelilingi komplek istana dengan tujuan untuk mambuat pagar pembatas antara komplek istana dengan perkampungan masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan. Pada masa pemerintahan Sultan Buton IV yang bernama La Elangi atau Sultan Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen.
Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Kesultanan Buton memberi pengaruh besar terhadap eksistensi Kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh. Dari tepi benteng yang sampai saat ini masih berdiri kokoh anda dapat menikmati pemandangan kota Bau-Bau dan hilir mudik kapal di selat Buton dengan jelas dari ketinggian
Benteng ini terdiri dari tiga komponen yaitu Badili, Lawa, dan Baluara
Objek wisata ini merupakan meriam yang terbuat dari besi tua yang berukuran 2 sampai 3 depa. Meriam ini bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda yang dapat ditemui hampir pada seluruh benteng di Kota Bau-Bau.
Dalam bahasa Wolio berarti pintu gerbang. Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung yang berada di sekeliling benteng keraton. Terdapat 12 lawa pada benteng keraton. Angka 12 menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia, sehingga benteng keraton diibaratkan sebagai tubuh manusia. Ke-12 lawa memiliki masing-masing nama sesuai dengan gelar orang yang mengawasinya, penyebutan lawa dirangkai dengan namanya. Kata lawa diimbuhi akhiran 'na' menjadi 'lawana'. Akhiran 'na' dalam bahasa Buton berfungsi sebagai pengganti kata milik "nya". Setiap lawa memiliki bentuk yang berbeda-beda tapi secara umum dapat dibedakan baik bentuk, lebar maupun konstruksinya ada yang terbuat dari batu dan juga dipadukan dengan kayu, semacam gazebo di atasnya yang berfungsi sebagai menara pengamat. 12 Nama lawa di antaranya: lawana rakia, lawana lanto, lawana labunta, lawana kampebuni, lawana waborobo, lawana dete, lawana kalau, lawana wajo/bariya, lawana burukene/tanailandu, lawana melai/baau, lawana lantongau dan lawana gundu-gundu.
Kata baluara berasal dari bahasa portugis yaitu baluer yang berarti bastion. Baluara dibangun sebelum benteng keraton didirikan pada tahun 1613 pada masa pemerintahan La Elangi/Dayanu Ikhsanuddin (sultan buton ke-4) bersamaan dengan pembangunan 'godo' (gudang). Dari 16 baluara dua diantaranya memiliki godo yang terletak diatas baluara tersebut. Masing-masing berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk yang berbeda-beda, disesuaikan dengan kondisi lahan dan tempatnya. Nama-nama baluara dinamai sesuai dengan nama kampung tempat baluara tersebut berada. Nama kampung tersebut ada di dalam benteng keraton pada masa Kesultanan Buton.
16 Nama Baluara yaitu: baluarana gama, baluarana litao, baluarana barangkatopa, baluarana wandailolo, baluarana baluwu, baluarana dete, baluarana kalau, baluarana godona oba, baluarana wajo/bariya, baluarana tanailandu, baluarana melai/baau, baluarana godona batu, baluarana lantongau, baluarana gundu-gundu, baluarana siompu dan baluarana rakia.
Mari kita mengenal Benteng Wolio, bangunan benteng paling besar di dunia. Lokasinya ada di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara.
Benteng Wolio awalnya dibangun oleh Raja Buton III bernama La Sangaji yang bergelar Kaimuddin pada abad ke-16. Benteng tersebut hanya dibangun dalam bentuk tumpukan batu karst yang disusun mengelilingi komplek istana untuk membuat pagar pembatas antara komplek istana dengan pemukiman masyarakat sekaligus sebagai benteng pertahanan.
Namun, pada masa pemerintahan Raja Buton IV, La Elangi atau Dayanu Ikhsanuddin, benteng berupa tumpukan batu tersebut dijadikan bangunan permanen. Konon katanya batuan tersebut direkatkan dengan campuran putih telur, pasir, dan kapur.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pada masa kejayaan pemerintahan Kesultanan Buton, keberadan Benteng Wolio memberikan pengaruh besar terhadap eksistensi kerajaan. Dalam kurun waktu lebih dari empat abad, Kesultanan Buton bisa bertahan dan terhindar dari ancaman musuh.
Benteng Wolio sendiri memiliki 12 pintu gerbang yang disebut 'Lawa' dan 16 emplasemen meriam yang mereka sebut 'Badili', 4 boka-boka (bastion berbentuk bulat), batu tondo (tembok keliling), parit, dan alat persenjataan.
Karena letaknya pada puncak bukit yang cukup tinggi dengan lereng yang cukup terjal memungkinkan tempat ini sebagai tempat pertahanan terbaik pada zamannya.
Salah satu sultan yang sangat dihormati pada masanya ialah Sultan Buton VI, Lakilaponto atau yang dikenal dengan nama Sultan Murhum Qaimuddin Khalifatul Khamis.
Benteng Wolio di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Foto: Kemenparekraf)
Ia menjadi sultan pertama dan raja terakhir, karena sistem pemerintahan yang semula kerajaan diubah menjadi kesultanan. Sebagai raja beliau memerintah selama 20 tahun, sementara sebagai sultan selama 26 tahun.
Agama Islam mulai masuk ke Kota Baubau saat di bawah pemerintahannya. Semasa pemerintahannya pula, ia mendirikan sebuah masjid yang diberi nama Masigi Ogena atau Masjid Agung Kesultanan Buton. Hingga kini masjid tersebut masih difungsikan sebagai tempat ibadah umat Islam.
Menurut Keterangan Ketua Pokdarwis Dadi Mangora Keraton Molagina Maman di dalam Masjid Agung Kesultanan Buton ini sarat akan makna. Sebut saja jumlah anak tangganya ada sebanyak 17, menandakan jumlah rakaat salat.
Lalu untuk panjang bedugnya 99 cm, melambangkan asmaul husna dan pasaknya berjumlah 33 sesuai dengan jumlah tasbih.
Makam Sultan Muhrum juga berada di dalam kawasan Benteng Wolio. Dibangunnya makam guna memberikan penghormatan kepada jasa-jasa Sultan semasa hidupnya. Makam ini kerap kali dimanfaatkan masyarakat sebagai wisata ziarah atau yang disebut dengan 'Santiago'.
Di dekat makam Sultan Muhrum terdapat Batu Yi Gandangi. Menurut masyarakat setempat belum sah ke Kota Baubau kalau belum menyentuh batu tersebut. Dulunya tempat batu ini terdapat mata air pada celah batu yang diyakini dapat mengeluarkan air bila ada penobatan raja atau sultan.
Selain Benteng Wolio yang menjadi warisan budaya nusantara, terdapat beragam unsur atraksi wisata menarik. Diantaranya Kande-Kandea, Posipo, Alana Bulua, Dole-Dole, Tandaki, Haroa, Qadiri, Qunua, Tembaana Bula, serta berbagai permainan tradisional. Namun, atraksi tersebut hanya bisa dinikmati pada waktu tertentu, tergantung tradisi masyarakat Buton serta pada setiap event budaya lainnya di Kota Baubau.
Benteng peninggalan Kesultanan Buton di Kota Baubau, Sulawesi Tenggara (Foto: Okezone.com)
KOTA Baubau di Pulau Buton, Sulawesi Tenggara punya sejarah panjang. Kota ini punya banyak benteng peninggalan masa lalu termasuk Benteng Keraton Buton yang masuk rekor sebagai benteng terbesar di dunia. Itu jadi alasan Baubau dijuluki sebagai Negeri Seribu Benteng.
Baubau berasal dari kata Bau, gelar bangsawan kerajaan masa lalu. Dulu banyak bangsawan bergelar Bau datang ke Buton sehingga kota tersebut disebut Baubau.
Kota Baubau yang luasnya sekitar 295,072 kilometer persegi dihuni sekitar 167.519 jiwa berdasarkan sensus 2018. Baubau pernah jadi Ibu Kota Kabupaten Buton sebelum dimekarkan dengan status kota madya pada 2001.
Dahulu kala, Baubau merupakan pusat Kerajaan Buton atau Wolio yang berdiri pada awal abad ke-15 atau 1401–1499 Masehi.
Mengutip dari Wikipedia, awal mula Buton jadi sebuah kerajaan dirintis oleh kelompok Mia Patamiana atau si empat orang yang datang ke Buton pada abad 13.
Mereka adalah Sipanjonga, Simalui, Sitamanajo dan Sijawangkati yang berasal dari Semenanjung Melayu atau Johor.
Tanah Buton kemudian didatangi Raja Bone bernama Arung Palakka bersama sejumlah bangsawan Bone dan Soppeng pada Desember 1660.
Kedatangan Arung Palakka dan yang lainnya pada saat itu hendak meminta perlindungan kepada Sultan Buton dari ancaman Gowa.
Usai perjanjian Bongaya dan kekalahan Gowa, Arung Palakka bersama dengan sejumlah bangsawan lainnya dari latar etnis Bugis memilih untuk menetap di Buton sebagai warga. Hal ini dikarenakan, Tanah Buton pada waktu itu jauh lebih aman daripada Sulawesi Selatan yang penuh dengan konflik.
Sebagai pengingat, dulunya di abad ke 17 sampai awal abad ke 20, kondisi politik di Sulawesi selatan, penuh dengan konflik internal antar kerajaan. Yaitu antara kerajaan Gowa dan Bone, yang dimana kedua kerajaan ini juga pernah mempunyai konflik dengan Belanda dan Ternate.
Untuk itulah, Tanah Buton yang dirasa paling aman dan mudah di jangkau pada zaman itu, menjadi sasaran para pendatang dari Sulawesi Selatan untuk menetap. Karena mereka adalah bangsawan Bugis yang memiliki gelar kebangsawanan Andi Bau, maka hingga kini Tanah Buton disebut sebagai Kota Baubau.
Nah itulah sejarah dibalik terciptanya nama Baubau sebagai kota, unik bukan? Oleh karena itu awal kelahiran Kota Baubau bisa dirujuk sejak tahun 1660.
Meski demikian pada Perda No. 02 tahun 2010, tentang Penetapan Hari Jadi Kota Baubau dan Perubahan Penulisan Baubau, ditetapkan bahwa hari jadi Kota Baubau jatuh pada tanggal 17 Oktober 1541.
Arsitektur bangunan Benteng Keraton Buton terbilang cukup unik, karena terbuat dari batu kapur atau gamping. Konon, batuan tersebut direkatkan dengan campuran putih telur, pasir dan kapur sehingga menjadi bangunan benteng.
Tidak seperti benteng pertahanan lainnya, Benteng Keraton Buton dibangun atas inisiatif masyarakat pribumi yaitu pada masa pemerintahan Sultan Buton III, yakni Sultan La Sangaji atau Sultan Kaimuddin. Terdapat meriam atau badili, di dalam Benteng Keraton Buton.
Meriam itu merupakan bekas persenjataan Kesultanan Buton peninggalan Portugis dan Belanda. Selain meriam, benteng ini juga mempunyai pintu gerbang atau lawa dan baluara badili atau bastion dudukan meriam (emplasemen).
Lawa berfungsi sebagai penghubung keraton dengan kampung-kampung di sekelilingnya. Terdapat 12 lawa pada Benteng Keraton Buton, yang menurut keyakinan masyarakat mewakili jumlah lubang pada tubuh manusia.
Sementara itu, baluara berasal dari bahasa Portugis yaitu baluer, yang berarti bastion. Baluara dibangun pada 1613, di masa pemerintahan Sultan Buton IV, yakni Sultan La Elangi yang bergelar Sultan Dayanu Ikhsanuddin.
Terdapat 16 baluara, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan peluru dan mesiu. Setiap baluara memiliki bentuk berbeda-beda, sesuai dengan kondisi lahan. Predikat benteng terluas di dunia diberikan oleh Guinness World Records pada 2006 lalu.
Selain itu, Benteng Keraton Buton juga mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI). Benteng ini mempunyai luas sekitar 23,375 hektar. Berbentuk lingkaran, benteng ini memiliki keliling 2.740 meter.
Sedangkan, tinggi dan tebal tembok Benteng Keraton Buton berbeda-beda, lantaran perbedaan kontur tanah dan lereng bukit. Tinggi benteng berkisar 1-8 meter, dengan ketebalannya sekitar 0,5 – 2 meter.